Peraih Kalpataru Itu “Berfalsafah” Korek Api
Dodent yang memiliki nama asli Mahyiddin itu tidak hanya dikenal oleh penduduk Kota Sabang, Provinsi Aceh, tapi di dunia internasional terutama para turis dari berbagai negara yang pernah mengunjungi pulau ujung paling barat Indonesia itu.
Kepeduliannya terhadap keselamatan ekosistem tersebut telah mengantarkan pria yang hanya mengecap pendidikan di kelas dua Sekolah Rakyat (SR/SD) itu ke Istana Negara di Jakarta dan berjabat tangan dengan Presiden Susilo Yudhoyono.
Dodent, peraih penghargaan lingkungan hidup atau Kalpataru 2010 itu rupanya memiliki pandangan hidup “yang tidak mengharapkan balas kasihan” orang lain, termasuk pemerintah.
“Saya tidak mau minta bantuan kepada pihak lain, meski apa yang saya kerjakan selama ini bukan semata-mata untuk kepentingan usaha pribadi, tapi bagi kepentingan orang banyak dan masa depan dunia ini,” katanya.
Bahkan, ia menyebutkan ada sebuah falsafah hidup yang pernah diajarkan seorang turis asal Inggris yang berkunjung ke Sabang, sekitar tahun 1980.
“Kalau kamu (Dodent) di negeri kami, maka kami akan melepaskan kamu ke negera-negara persemakmuran (Commonwealth of Nations) dengan bekal korek api,” katanya mengutip sebuah falsafah hidup turis asal Inggris tersebut.
“Lama sekali saya menghayati apa makna dari falsafah yang diucapkan turis asing itu. Kemudian, saya berpikir dan meyakinkan diri bahwa itu ibaratnya sebatang korek api yang suatu saat bisa memberi manfaat atau cahaya bagi orang lain,” kata dia.
Apa yang dilakukan Dodent? Bapak tujuh orang anak itu bertahun-tahun melakukan transplantasi karang untuk tujuan pemulihan terumbu karang yang telah rusak parah akibat bencana tsunami, 26 Desember 2004.
“Pascatsunami, saya melihat karang-karang yang sebelumnya cukup indah namun sekitar 80 persen hancur akibat bencana alam itu. Namun, saya berpikir bagaimana agar kondisi itu bisa kembali membaik,” ujarnya.
Transplantasi karang dilakukan dengan memindahkan potongan karang hidup dari terumbu karang yang kondisinya masih baik ke lokasi terumbu karang yang rusak akibat tsunami.
Pekerjaan transpalantasi karang itu dilakukan dalam tiga tahun terakhir, dan kini telah berdampak bahwa sebagian terumbu karang yang rusak akibat tsunami itu tumbuh kembali di sepanjang pesisir Pulau Rubiah dan Iboih, Sabang.
“Awalnya saya berinisiatif sendiri menanam karang (transpalantasi), kemudian baru ada bantuan dari sebuah LSM asal Swiss, dengan bantuan sekitar Rp300 juta,” katanya.
Untuk memulihkan kembali terumbu karang yang rusak akibat tsunami di Pulau Weh itu dibutuhkan dana cukup besar, karena kerusakannya paling parah akibat tsunami.
Bagi Dodent, kepuasan dalam hidupnya adalah jika warga terutama yang bermukim di pesisir pantai itu mulai sadar bahwa alam itu akan memberi manfaat besar bagi kehidupan, dengan cara tidak merusak ekosistem yang ada.
“Ada satu kepuasaan bagi saya jika orang-orang mulai sadar tentang manfaat besar dalam menjaga ekosistem. Itu kini sudah menjadi salah satu peganggan hidup kami yang bermukim di kawasan Pulau Rubiah dan pesisir Iboih, Sabang,” katanya.
Dari usaha menjaga ekosistem tersebut, kata Dodent, masyarakat berusaha dengan menjual jasa seperti sewa boat kaca kepada wisatawan yang berkeliling perairan hanya untuk melihat langsung keindahan alam bawah laut sekitar Pulau Rubiaj dan Iboih.
Saat ini, ada sekitar enam unit boat kaca yang dikendalikan masing-masing dua orang. Tarif untuk keliling yang dikenakan kepada wisatawan itu sebesar Rp300 ribu/boat, sekali jalan.
“Artinya, kalau kita tidak menjaga agar terumbu karang tetap baik, maka wisatawan mau lihat apa di Sabang,” kata Dodent.
Kemudian, dengan banyaknya wisatawan yang datang ke Pulau Rubiah dan Iboih, maka masyarakat bisa berusaha, misalnya dengan membuka kios-kios penjual makanan dan minuman ringan, termasuk sewa kendaraan bermotor.
“Saat ini, tingkat kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan juga sudah tinggi. Kalau ada oknum warga yang mencari ikan dengan menggunakan peralatan membahayakan terumbu karang, misalnya bom atau racun, maka masyarakat Iboih yang akan menangkapnya sendiri,” kata dia.
Perairan laut kawasan Pulau Rubiah dan Iboih juga dijadikan sebagai lokasi untuk menyelam (diving) bagi turis. “Saya membuka usaha sewa peralatan selam itu di Iboih sejak tahun 1973,” katanya.
Kemudian, usaha sewa peralatan selam itu terus berkembang dan telah dilakukan pula oleh beberapa warga masyarakat lainnya.
Tidak hanya terumbu karang yang harus diselamatkan, tapi juga pesisir pantai Pulau Weh Kota Sabang perlu sebuah “benteng” untuk mengatasi kuatnya amukan ombak Samudera Indonesia.
Pulau Weh Sabang, atau berjarak sekitar 14 mil laut dari pesisir Kota Banda Aceh itu dikelingi perairan laut dan sebagian pantainya dihiasi pasir putih yang indah.
“Saat itu saya melihat kehancuran tidak hanya terumbu karang, tapi hutan manggrove juga luluh-lantak akibat bencana tsunami. Karenanya, saya berinisiatif menanam kembali hutan manggrove di beberapa titik di Pulau Weh,” kata Dodent.
Melalui kerja sama dengan beberapa pihak, maka Dodent mulai menanam manggrove dan hingga kini telah dilakukan penanaman sebanyak 55 ribu batang manggrove yang tersebar di Kelurahan Jaboi, Iboih dan Krueng Raya, Kota Sabang.
Gerakan reboisasi kawasan pantai itu terkadang juga mendapat bantuan pihak lain, meski ia mengaku tidak mengharapkan adanya partisipasi dari orang lain.
“Kalau sudah ada ide, meski terkadang harus mengeluarkan uang dari saku pribadi, maka saya jalankan terus. Tekad saya memberi contoh yang baik bagi orang lain agar menghargai lingkungan,” kata pria yang kerap berbicara ceplas-ceplos itu.
Dodent di usianya mulai memasuki senja itu, tetap tegar dan bangga karena dua putranya mulai mengikuti jejak sang ayah untuk eksis dalam pelestarian lingkungan.
Pria yang mulai kelihatan rambut uban (putih) mengelilingi kepalanya juga bangga, sebab ada delapan anak didik yang dilatihnya bertahun-tahun kini menjadi supervisor proyek lingkungan di Aceh Besar dan Aceh Jaya.
Anugerah Kalpataru untuknya (Dodent) adalah penghargaan buat Sabang, karena itu menjadi bukti bahwa keberadaan lingkungan bawah laut Sabang telah mendapat pengakuan resmi dari pemerintah.
“Bagi saya, penghargaan Kalpataru itu bukan sebagai tujuan dalam upaya melestarikan terumbu karang, tapi bagaimana menciptakan dan mempertahankan satu komunitas masyarakat yang sadar tentang manfaat alam sebagai sumber vital kehidupan,” kata Mahyiddin alias Dodent. (A042/H-KWR)
Pewarta: Azhari
Editor: Aditia Maruli Radja
COPYRIGHT © ANTARA 2010
Link Berita: https://www.antaranews.com/berita/207634/peraih-kalpataru-itu-berfalsafah-korek-api