Untuk Sebuah Nama: Dodent

Bermula dari sebuah straight news. Berita lurus, ringkas yang memenuhi unsur lima w+satu h. Sumbernya, mungkin – ini mungkin- dari press release. Diramu, dipoles dan jadilah.

Straight news yang jadi tentang memelihara terumbu karang. Di laut Sabang. Di sebuah kawasan resort. Yang dikawal oleh seorang sahabat. Sahabat yang pejabat. Reza Pahlevi.

Maaf Reza. Saya terbiasa memanggil penggalan namanya. Sepanjang persahabatan. Sering bla..bla..bla dan ka..keh..keh..di tengah dan di ujung pembicaraan. Dibanyak kesempatan sapa.

Ya…bagi saya bukan ramuan, polesan dan jadinya straight news itu yang menarik. Tapi kegiatan itu. Kegiatan yang mentakziahkan saya ke sebuah nama. Ke sebuah kenangan. Kenangan di sebuah dekade.

Dekade ketika terumbu karang di perairan Sabang berantakan digoyang gempa skala sempurna yang kemudian disapu humbalang laut: tsunami.

Berantakan. Hancur. Tapi tidak punah. Dari berantakan itu ia kembali dirajut. Dirajut dengan hati. Oleh seorang yang namanya tak pernah lekang dari pahatan memori saya. Maka ia menjadi tumbuh dan berkembng lagi.

Sampai dengan hari kemarin, hari ini, dan hari esok. Dan Reza pun bicara tentang pentingnya menjaga kelestarian terumbu karang dan ekosistem bawah laut. Ekosistem lewat transplantasi dan penanaman terumbu karang.

Seperti rehabilitasi lingkungan laut milik the hawk’s nest resort. Terumbu karang yang nggak rusak-rusak benar. Yang nggak benar-benar rusak seperti ayakan gempa dan tsunami dulunya itu.

Entahlah…. Saya nggak tahu di mana lokasi resort itu. Straight news yang saya baca kemarin itu nggak menyebutnya.

Ya… nggak apa-apa. Kan bisa dicari lewat google map.

Walau pun begitu, bagi saya, ada dua sisi kepentingan yang terseret di kegiatan itu. Pelestariannya sendiri plus komersialisasi resort untuk menjual produk diving dan snorkeling.

Ya… sudah… Nggak apa-apa.

Yang apa-apanya justru bagi saya justru kegiatan itu membuat saya mengingat sebuah nama: Dodent.

Dodent yang saya tulis kembali lewat bla..bla..bla di bawah ini…

Dodent dari sebuah nama “keren” di pelataran senyap untaian taman laut Iboih-Rubiah-Gapang. Dulu sekali….Yang saya nggak tahu apakah Reza atau pemilik resort masih mengingatnya.

Dodent adalah nama yang dicatatkan dibanyak “web, blog” dan “email” komunitas “dive” dunia. Nama yang tak bisa dikelupas di Pantai Iboih, Gapang dan Rubiah. Nama yang kini terpahat di langit “arash” dan hidup dibanyak memori.

Dodent, memang sebuah legenda, ketika komunitasnya merajut kenangan untuk mengenang.

Kenangan ketika gempa sembilan koma tiga skala richter dan “humbalang” laut, tsunami dahsyat, menerjang Aceh, dua puluh enam desember dua kosong-kosong empat.

Humbalang dan gempa yang merontokkan terumbu karang dan memorak-porandakan “kerajaan” bisnisnya, “home stay,” perahu “pesiar” berlambung kaca, “dive shop” serta meraibkan bongkahan peralatan selamnya.

Ketika saya bertemu di sebuah pagi delapan belas tahun silam Dodent hanya tertawa kecil tentang suratan hidup yang mengembalikan dirinya menjadi pengangguran. “Miskin.”

Untuk itu, kepada seorang reporter sebuah jaringan televisi dunia menemuinya untuk melaporkan hasil investigasi kerusakan terumbu karang Rubiah dan Iboih pascagempa dan tsunami ia hanya cuek.

Ia tak larut menjelaskan bagaimana perasaannya kehilangan banyak investasi, Dodent dengan ekspresi dingin dan acuh, tanpa mempedulikan arah sorot lensa kamera, berujar, ”tidak ada yang hilang”.

“Saya tidak pernah memiliki apa-apa, dulu maupun kini.” Sebuah ucapan yang menyergap, dan membuat sang reporter gagap dan kehilangan “tone.”

Pascagempa dan tsunami, lelaki “miskin” yang tak pernah merasa “memiliki apa-apa” itu, tak patah arang.

Saya sendiri mendapat cerita unik seputar pribadi “kontroversial” itu, ketika ia membangun “patung” dari sisa rongsokan komputer miliknya di Iboih.

Ia juga menunda memungut limpahan rezeki dari “booming” turis pascarekonstruksi Aceh, dan lebih asyik menyedekahkan isi kantongnya, hasil meng”guiden” kecil-kecilan untuk menanam terumbu karang yang dilekatkan pada cetakan semen berhuruf “T” di dasar laut Gapang, Iboih dan Rubiah.

Saya tak tahu apakah cetakan semen berhuruf “T” masih utuh atau sudah hanyut. Saya sebenarnya ingin tahu tentang ini dan minta sahabat Reza mencarikannya. Tapi ia kini sudah jadi pejabat banyak urusan. Mungkin juga banyak acara.

Dodent memang sangat sederhana. Di masa rekonstruksi Aceh dengan turis berkantong tebal berjibum ia bisa saja menimba duit berlimpah ketika itu dengan cara “menjual” Iboih dan Rubiah di kalangan ekspatriat berlabel “ngo.”

Tapi ia tidak melakukannya. Ia membatasi kedatangan turis dan lebih asyik memijah terumbu karang untuk memberikan rumah tinggal yang nyaman bagi ikan warna-warni dari pada menebarkan promosi Iboih dan Rubiah.

Pijahan terumbu karang ini, kemudiannya, menjadi pembicaraan ramai di komunitas “scuba diving” karena proses kehidupannya yang sangat cepat.

Padahal banyak keyakinan yang beredar di lingkungan mereka kerusakan terumbu karang Gapang, Iboih dan Rubiah membutuhkan bertahun-tahun untuk bisa eksis kembali, seperti sebelum gempa dan tsunami.

Sejak awal pengenalannya dengan Gapang, Rubiah dan Iboih, Dodent, sejatinya, seorang “single fighter.” Tak ada kawan. Tak ada kelompok. Kerjaannya serabutan.

Tidak tahu pangkal tempat memulai dan tidak pernah tahu ujung yang akan dituju.

“Saya hanya berguru kepada alam yang terbentang. Anugerah-Nya ini yang membangkitkan kegairahan saya,” katanya di kesempatan lain.

Untuk mengenang masa awal, suatu hari, lelaki dengan dialek Aceh yang masih kelat menempel di lidahnya itu, mengungkapkan kerjaannya sebagai “pemulung” sampah di sepanjang pantai Iboih, dianggapnya kegilaan.

Pekerjaan “gila” yang memberi kenikmatan karena mendapat acungan jempol setiap turis bule. Mereka menganggap saya sebagai pribumi setengah sinting, karena tak ada pemuda lokal yang mereka temui se”gila” saya.

Kegilaan yang ditertawakannya sendirian ketika sebuah koran terbitan Medan, waktu itu, menulis untuk pertama kali tentang profilnya, hasil tulisan reporternya.

Tulisan yang menyebutnya, “Dodent si “gila dari Iboih.” Lelaki itu tak pernah marah membacanya, karena itulah peristiwa pertama ia “masuk” koran. “Biasanya yang ditulis kan profil pejabat atau tokoh sukses,” ujarnya tertawa.

Dia mengiyakan kesintingan itu dengan komentar, ”kan hanya orang gila yang mau jadi pemulung pantai, atau menyelam diterik matahari siang sembari menghitung jenis terumbu karang serta mencatat jenis ikan beserta rumah karangnya.”

“Saya termasuk jenis orang itu.” Kalimat “nyentrik” itu diucapkannya dengan nada datar tanpa retorika. Kalimat lugu, yang dikenang banyak temannya, sebagai kelurusan pekertinya.

Bukan untuk pengakuan atas rintisannya sebagai pionir pengenalan taman laut Rubiah dan Iboih. Atau pun sebagai aksentuasi dirinya sebagai pribadi yang mengantarkan Gapang, Iboih dan Rubiah ke pentas dunia taman laut. “Tidak,” kata Dodent lugas.

Dodent memang merangkak dari bawah ketika turis bule yang datang ke Rubiah dan Iboih masih menjadi tontonan karena memakai pakaian minim di lepas pantai Gapang.

Tontonan yang menjadi gosip panjang hingga ke Banda Aceh, kala itu, yang diplesetkan sebagai, “pilem porno gapang.”

Kala itu memang terjadi “tabrakan” budaya yang membuat kabar “geger” dan proses akulturasinya sedang membuat langkah awal. Dodent sendiri sempat risih mendengar celotehan ini.

Ia sempat dituduh ingin menghancurkan kultur islami. Tuduhan yang dijawabnya dengan gurauan. “Kan tidak mungkin kita menyuruh turis bule mandi dengan kain sarung.”

Turis sporadic yang jumlahnya masih hitungan jari itu pernah juga mengeluh karena tak nyaman jadi tontonan.

Perjuangan terberat Dodent di awal kisah kasihnya di “sekolah” Rubiah dan Iboih datang dari “perompak” terumbu karang dan ikan hias yang membawa surat berkop resmi.

“Perompak” bersenjatakan mesiu peledak dan “bius” untuk menghancur terumbu karang serta obat “lelap” untuk ikan hias.

Mereka, umumnya, berkantong tebal dengan sebutan “toke” untuk membungkam pejabat dan membayar “preman” penyelam atas nama komoditi dan devisa.

“Perompak” ini membentangkan rantai kepentingan bisnisnya mulai dari Bangkok, Kuala Lumpur maupun Singapura dan meminjam tangan toke di Banda Aceh yang berinvestasi dengan peralatan selam canggih.

Mereka, ketika itu, beroperasi mulai dari pulau ke pulau di Kepulauan Aceh hingga menyusuri pantai Weh, sejak dari Balohan hingga ke Rubiah memakai “speedboat” bermesin “Yanmar”.

Ujung kepentingan mereka hanya untuk mengisi “kolam” akuarium orang kaya yang dengan memindahkan karang terbaik dan ikan hias untuk kesenangan obat stress penekan tensi darah.

Orang semacam Dodent, kala itu, hanya bisa lunglai menghadapi kawanan “rompak” terumbu karang itu.

Perlawanan justru datang dari para komunitas “diving” yang menggunakan suratkabar prestise “Bangkok Post” di Thailand dan “The Strait Time” di Singapura untuk menuliskan laporan investigasi kejahatan perdagangan terumbu karang dan ikan hias. Kejahatan lingkungan yang pada waktu itu sedang “trendy” di banyak negara.

Bisnis ini, akhirnya, memang terkapar karena para importir di luar negeri menolak ekspor komoditi ini.

Di ujung usianya, Dodent pernah menyebut, sebagian tugasnya menularkan pelestarian terumbu karang, terutama di Iboih dan Rubiah sudah selesai.

Tugas berat sebagai “guru,” pengganti kata instruktur, atas pekerjaan ”edukasi”nya selama puluhan tahun, telah menemukan kesadaran kolektif.

Di mana-mana orang memerangi perusakan terumbu karang lewat pekikan, demonstrasi maupun “pressure” kicauan di “twitter, bahkan mengisi laman “facebook.”

Bagi Dodent, semua ini adalah romantisme. Romantisme pasca “booming” lembaga swadaya lingkungan untuk mendinamiskan keinginan banyak orang untuk mencari panggung jati diri.

Panggung untuk bersorak, terkadang dengan suara fals, tanpa tahu makna teriakannya.

Dodent hanya tertawa geli mengingat semua ini, seperti juga masyarakat selam lainnya.

Tertawa melihat banyolan di panggung yang lucunya tidak terseting. Dan dikomentarinya dengan dua kata, “biarlah saja.” Yang penting panggungnya jangan sampai roboh.

Dodent kelahiran ……..seribu sembilan ratus lima puluh dua, sampai hari terakhir hayatnya di usia lima puluh delapan tahun, berupaya menjaga panggung itu tidak roboh.

Kerja nyatanya memelihara kelestarian terumbu karang. Ia menghindar masuk area hura-hura dan “dugem” gosong itu dengan memilih berada di bibir tubir bersama “geng”nya.

“Kerja saya sudah selesai. Telah lahir generasi baru dengan dedikasi tinggi.”

Sebelum menutup tulisan ini saya ingin melambungkan sebuah impian ke Reza Pahlevi. Impian ke seorang pejabat sebelum ia soh. Impian untuk sebuah event diving atau snorkeling dengan tatahan award: Dodent…

Tapi… entahlah ya…..[]

Writer: Darmansyah, wartawan senior, penulis “Kolom Bang Darman”
Sumber: https://portalnusa.com/2023/02/28/untuk-sebuah-nama-dodent/

Leave A Comment